Sosial Budaya

Wilayah suku minangkabau yang berada di Sumatera bagian tengah, meliputi Propinsi Sumatera Barat dan sebagian Propinsi Riau dan Jambi. Pada umumnya orang Minangkabau menyebut daerahnya dengan Alam Minangkabau atau Ranah Minang.



Latar belakang sosial budaya Minangkabau ini diungkapkan dalam tambo. Tambo merupakan kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang kaba yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat. Orang cenderung membagi tambo dalam dua jenis, tambo alam dan tambo adat.

Dalam tambo alam dikisahkan bahwa nama Minangkabau berasal dari peristiwa aduan kerbau antara kerajaan Minangkabau dengan kerajaan yang datang dari laut. Namun penamaan atas suatu suku bangsa berdasarkan peristiwa aduan kerbau tidak meyakinkan banyak penulis. Penulis Minangkabau pun mengemukakan berbagai pendapat, antara lain mengatakan bahwa asal kata minang dari nama besi runcing yang dipasang diujung hidung anak kerbau. Penulis lain mengatakan bahwa asalnya dari kata mainang kabau yang artinya memelihara kerbau. Minangkabau menurut Ven der Tuuk berasal dari kata phinang khabu yang artinya tanah asal. (Navis, 1984: 53).

Tambo adat diantaranya menerangkan bahwa perang padri yang terjadi di awal abad 19 memiliki pengaruh yang besar terhadap Alam Minangkabau dalam hubungannya dengan sistem kepercayaan mereka, hal ini digambarkan dalam filosfi adatnya yang berbunyi:
Adat basandi syarak, ----------> Adat bersendikan agama,
Syarak basandi Kitabullah. --> Agama bersendikan Kitabullah (Al Qur’an).

Tambo juga menyebutkan bahwa pemerintahan di Minangkabau pada masa lalu menganut dua sisitem yang disebut lareh atau laras yang artinya kesesuaian.

Lareh Koto Piliang dibawah kepemimpinan Datuk Ketumanggungan dan Lareh Bodi Caniago dibawah kepemimpinan Datuk Parpatih Nan Sabatang.

Minangkabau merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menganut garis keturunan matrilineal dimana garis keturunan menurut garis ibu. Hal ini berarti suku anak mengikuti suku ibunya. Perihal suku-suku di Minangkabau juga berasal dari lareh atau kepemimpinan di Minangkabau, awalnya bersumber dari empat suku: Koto, Piliang,Bodi, dan Caniago yang kemudian sejalan dengan pertambahan penduduk dan daerah berkembang hingga lebih kurang menjadi 96 suku.

Suku sangat penting artinya bagi orang Minangkabau, orang yang sesuku dianggap bersaudara dan mempunyai rasa persatuan dan persaudaraan yang kuat. Seorang anggota suku ikut bertanggung jawab atas apa yang dilakuakan seorang anggota kaumnya yang diungkapkan dengan kata-kata adat “
sahino samalu, sasakik sasanang, barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang”.

Dalam satu suku tidak boleh terjadi perkawinan atau dengan kata lain perkawinan hanya diperbolehkan dengan orang yang berbeda suku. Dan setelah perkawinan marapulai/ pengantin pria menetap di rumah istri (matrilokal).

Dalam suatu nagari di Minangkabau minimal terdiri atas empat suku yang terbagi atas bagian yang lebih kecil yang disebut dengan sakaum, saparuik, saibu. Pemimpin sebuah rumah tangga disebut tungganai, pemimpin kaum disebut mamak, dan pemimpin suku adalah penghulu yang bergelar datuak.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa lelaki Minang berfungsi ganda yaitu sebagai mamak (dari kemenakannya /anak saudara perempuan) dan sebagai seorang ayah dari anak-anaknya. Pada masa lalu karena sistem matrilineal, seorang laki-laki Minang lebih dekat dengan kemenakannya yang merupakan anggota kaumnya, sedangkan di rumah istrinya ia hanya dianggap sebagai pendatang yang disebut urang sumando.

Sedangkan wanita di Minangkabau disebut Bundo Kanduang, yang artinya ibu sejati yang memiliki sifat keibuan dan kepemimpinan, karenanya wanita dalam sistem matrilineal mempunyai kedudukan yang penting dan menentukan dalam masyarakat, setiap sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan kaum dan suku, suara dan pendapatnya haruslah didengar. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan, 1998: 5-7).

Pada masa sekarang hubungan mamak kemenakan sudah mulai merenggang, seorang ayah lebih dekat dengan keluarga istrinya dibanding dengan kaumnya, hal ini disebabkan sistem pemerintahan yang tidak lagi berdasarkan adat sehingga hubungan anatar kaum mulai pudar dan tradisi merantau orang Minangkabau sendiri. Begitu juga dengan peranan Bundo Kanduang yang lambat laun meghilang.



No comments:

Post a Comment